Sunday, January 3, 2010

UJIAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL 2010

Pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari energi. Semakin masif pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi intensitas penggunaan energi. Di negara-negara yang kuat secara ekonomi, energi merupakan faktor dominan. Amerika Serikat, misalnya menyerap sekira 2.331 juta ton minyak atau setara 22,8 persen dari total konsumsi minyak mentah dunia, diikuti kekuatan ekonomi baru China dengan 1.386 juta ton atau 13,6 persen dari total konsumsi minyak bumi global.

Kemudian Rusia dan Jepang masing- masing mengonsumsi 6,5 persen dan 5 persen total minyak mentah dunia. Begitu pula dengan Indonesia. Sebagai negara yang sedang memacu pertumbuhan ekonominya, Indonesia menggunakan 1,1 persen dari total minyak mentah dunia. Dalam konteks inilah maka peran energi sangat diperlukan sebagai tiang penyangga perekonomian.

Suplai energi yang berkesinambungan dibutuhkan agar Indonesia sanggup mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 5–6 persen per tahun dan keluar dari krisis global. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi tertinggi di dunia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia pada 2010 diperkirakan mencapai 240 juta jiwa. Diprediksi, jumlah itu akan meningkat menjadi 260 juta jiwa pada 2020.

Dengan jumlah penduduk yang besar, otomatis permintaan energi akan meningkat. Mengacu kepada Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (2009) hasil kajian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, total konsumsi energi per kapita Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan pertumbuhan rata-rata di atas 5 persen. Pada 2000, konsumsi energi per kapita Indonesia sebesar 2,28 BOE (barrels of oil equivalent).

Artinya, setiap kepala mengonsumsi minyak mentah sebesar 2,28 barel per tahun. Jumlah itu terus meningkat dan pada 2008 konsumsi energi per kapita mencapai 2,82 BOE. Dilihat dari sektor pengguna, konsumen energi terbesar di Indonesia berasal dari kalangan industri. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa percepatan laju pertumbuhan ekonomi tidak terpisahkan dari pemanfaatan energi. Kebutuhan energi sektor industri meningkat setiap tahun.

Pada 2003, dibutuhkan sekira  225,1 juta BOE untuk menggerakkan industri. Pada 2007, seiring percepatan laju pemulihan ekonomi, kebutuhan industri meningkat menjadi 258,5 juta BOE dan naik lagi 316,2 juta BOE pada 2008. Selain industri, sektor yang juga merupakan pengguna energi terbesar ialah transportasi.

Besarnya jumlah populasi dan kebutuhan mobilitas penduduk membuat tingginya permintaan sektor transportasi terhadap energi tidak terelakkan. Pada 2003, sektor yang lekat dengan penggunaan bahan bakar ini memerlukan energi dengan kapasitas 156,2 juta BOE. Jumlah itu terus meningkat setiap tahun dan mencapai puncaknya pada 2008 dengan kebutuhan energi sebesar 191,2 juta BOE.

Tingginya permintaan energi untuk sektor transportasi disela-sela kondisi krisis global menunjukkan fenomena unik. Krisis yang memicu kenaikan harga minyak dunia dan diikuti dengan kenaikan harga BBM ternyata relatif tidak berpengaruh terhadap pola konsumsi energi masyarakat. Besar kemungkinan fenomena ini dipengaruhi oleh, mengutip apa yang diyakini pengamat ekonomi Prof Cyrillus Harinowo, sebagai kebangkitan kelas menengah baru.

Berbagai fakta di atas menegaskan optimisme bahwa bangsa ini sedang on the right track menuju pemulihan ekonomi pascakrisis global. Namun di sisi lain, hal itu juga mengundang pertanyaan tersendiri. Seberapa besar ketahanan energi dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan perekonomian ke depan? Sampai sejauh daya dukung energi yang kita miliki? Persoalan ini penting untuk dikaji sebab ketahanan energi dalam pengertian eksplorasi sumber energi konvensional memiliki limitasi tertentu.

Menurut data Departemen ESDM, sumber energi utama Indonesia kebanyakan dari jenis energi konvensional, seperti minyak mentah, batu bara dan gas alam. Padahal, terbentuknya energi fosil tersebut memakan waktu jutaan tahun. Minyak mentah diprediksi akan habis dalam waktu 15 tahun ke depan apabila tidak ditemukan ladang-ladang minyak baru. Sementara, cadangan energi batu bara hanya akan mampu menopang kebutuhan domestik selama 150 tahun ke depan.

Untuk itu, sudah saatnya Indonesia beralih pada upaya diversifikasi energi terutama pemanfaatan energi terbarukan. Eksplorasi sumber energi terbarukan penting karena memenuhi dua unsur, suplai energi jangka panjang (supply security) dan kesinambungan lingkungan hidup (environtmental sustainability) karena sifatnya yang ramah lingkungan. Karena itu, pengembangan sumber-sumber energi terbarukan, seperti biomassa (limbah), panas bumi, bahan bakar nabati (biofuel), tenaga surya atau air bisa menjadi jalan keluar.

Di negara-negara maju, energi fosil mulai ditinggalkan dan diganti energi alternatif dan energi terbarukan. Di AS, 20 persen pasokan energi mereka berasal dari tenaga nuklir. AS saat ini juga getol mengolah bahan bakar dari nabati (biofuel). Rusia selain sebagai ladang minyak juga dikenal sebagai pengguna sekaligus pemilik cadangan gas alam terbesar dunia (sekira 26 persen cadangan gas alam global).

Prancis yang memiliki keterbatasan sumber daya alam membangun pusat tenaga nuklir terbesar dengan total produksi setara 104 juta ton minyak (16 persen dari total penggunaan energi nuklir dunia). Kemudian China kini mulai beralih ke sektor batu bara karena lebih menguntungkan. Produksi batu bara Negeri Tirai Bambu setara 989 juta ton minyak atau sekira 36 persen pasokan batu bara dunia.

Sementara Jepang hingga saat ini diakui sebagai pengguna tenaga surya terbaik di dunia, sedangkan Kanada terkenal dengan energi hydro. Indonesia sejatinya sudah pada jalur yang benar dan pengembangan energi terbarukan sudah dilakukan sejak lama, kecuali dalam hal pemanfaatan energi nuklir. Namun, pemanfaatan sumber energi terbarukan masih terhambat faktor komersial dan rendahnya penguasaan teknologi.

Bahan bakar nabati yang diambil dari tanaman kelapa sawit (crude palm oil) sulit dikembangkan karena tanaman ini merupakan tanaman komersial yang laku di pasaran dunia. Selain itu, rendahnya daya saing produk-produk energi terbarukan dibanding energi fosil yang masih disubsidi merupakan persoalan lain. Hal itu belum ditambah rendahnya penguasaan teknologi pengembangan energi terbarukan sehingga menjadi beban bagi biaya produksi.

Karena itu, diperlukan peran pemerintah dalam bentuk produk regulasi yang mendukung pengembangan energi terbarukan, misalnya dengan memberikan stimulus bagi pengembang maupun pengguna energi terbarukan dari kalangan industri. Selain diversifikasi, langkah efisiensi atau penghematan energi juga perlu ditingkatkan demi menjaga ketersediaan energi dan pelestarian alam di masa depan.

Karena itu, pemerintah ke depannya akan melakukan efisiensi di hampir seluruh sektor. Untuk industri, pemerintah menargetkan efisiensi energi dapat ditingkatkan 6-10 persen. Untuk rumah tangga, target efisiensi dipatok sebesar 8-20 persen sementara sektor transportasi ditargetkan menghemat 10-30 persen.

1 comment:

Unknown said...

Urutan ketahanan energi nasional bgmn ya?

1. Kebutuhan energi nasional
2. Kecukupan energi nasional
3. Kemandirian energi nasional (swasembada energi)
4. Ketahanan energi nasional

Kayaknya swasembada energi sj belum deh mas, baru swasembada beras kali yah?

Kebutuhan energi nasional hrs jelas dulu definisinya mungkin.

Source ke mana ya?
--> Dewan Energi Nasional
--> Kementrian ESDM

visit my Blog (Scientific Indonesia):
http://scientificindonesia.wordpress.com/

http://scientificindonesia.co.cc

Salam,

Vready Roeslim