Saturday, January 9, 2010

Pertambangan nasional kini dan mendatang


Sejak awal Orde Baru, dengan lahirnya UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum, paradigma pengelolaan dan pengusahaan sektor pertambangan umum (mineral-batu bara) cenderung hanya berorientasi pada kepentingan jangka pendek, yaitu untuk mengejar devisa.

Berpegang pada konsideran UU tersebut, khususnya poin a, yang menyebutkan "bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil", para pengambil kebijakan di negeri ini kemudian seakan saling berlomba untuk mengeksploitasi sumber-sumber pertambangan yang ada secara masif, hingga kini.

Implikasinya, pertama, dominasi korporasi besar asing (yang mempunyai modal dan teknologi untuk melakukan eskploitasi masif) dalam pengusahaan pertambangan nasional tak dapat dihindarkan.

Dalam hal produksi konsentrat tembaga misalnya, PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Sementara itu, tidak kurang dari 86% produksi emas dan perak nasional juga dikuasai oleh kedua perusahaan tersebut.

Kedua, pola eksploitasi the bigger the better yang cenderung abai lingkungan dan tidak mengindahkan keberlanjutan ketersediaan sumber daya pertambangan itu pada masa yang akan datang, mendominasi dari tahun ke tahun.

Dalam hal produksi batu bara misalnya, dengan hanya memiliki sisa cadangan batu bara sekitar 4.328 juta ton, atau sebesar 0,5% cadangan dunia saja, pertumbuhan produksi batu bara nasional begitu tinggi dan jauh melampaui negara-negara lain yang kaya akan batu bara.

Selama 1997 hingga 2008, pertumbuhan produksi batu bara nasional mencapai 14,06 % per tahun. Bandingkan dengan Amerika Serikat dan Rusia yang pada periode sama tingkat produksi batu baranya hanya tumbuh masing-masing sebesar 0,69% dan 2,73% per tahun, padahal cadangan batu bara keduanya masing-masing mencapai 28,9% (238.208 juta ton) dan 19% (157.010 juta ton) dari total cadangan dunia.

Ketiga, orientasi ekspor hasil produksi yang ada hanyalah dalam bentuk mentah (raw material) tanpa mengalami proses peningkatan nilai tambah lebih lanjut, sehingga kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional menjadi relatif rendah.

Pada 2008, saat harga komoditas pertambangan sedang tinggi, sektor pertambangan mineral-batu bara dari pajak dan non-pajak ternyata 'hanya' memberikan sumbangan sebesar Rp42,12 triliun atau sekitar 4,4% saja dari total penerimaan negara.

Sementara itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, dalam lima tahun terakhir, sektor pertambangan rata-rata juga hanya menyerap sekitar 0,92% saja dari keseluruhan jumlah angkatan kerja nasional.

Berbagai pihak berharap, hadirnya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba), dapat menyempurnakan kekurangan UU No. 11 Tahun 1967, serta mampu mengembalikan fungsi dan kewenangan negara terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki. Sehingga amanah konstitusi yang menyebutkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat", benar-benar dapat diwujudkan.

UU Minerba memang telah terdapat beberapa perbaikan di antaranya yang paling penting adalah ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan ke depan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).

Dengan IUP maka posisi pemerintah sebagai pemberi izin tidaklah sejajar dengan kontraktror, sehingga kontrol dan kewenangan yang lebih ada pada pemerintah.

UU Minerba juga telah mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.

Meski telah terdapat berbagai perbaikan, ada beberapa catatan (kelemahan) dalam UU Minerba tersebut yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena jika tidak justru akan semakin memperberat permasalahan sektor pertambangan pada masa yang akan datang.

Pertama adalah menyangkut arah dan strategi nasional di sektor pertambangan, yang jika pemerintah pusat tidak segera menetapkan acuannya, ke depan bisa semakin tidak menentu (tidak terkontrol) dengan diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan data, semenjak digulirkannya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah di terbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai.

Kedua, menyangkut besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak, yang juga berpotensi untuk semakin tidak optimal (tidak jelas berapa jumlah yang sesungguhnya) jika kontrol dan pengawasan yang ketat tidak diterapkan terhadap IUP yang diterbitkan.

UU Minerba memang tidak mengatur secara tegas tentang hal ini tetapi 'hanya' menyerahkan pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawahnya.

Ketiga, menyangkut kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO). UU Minerba juga tidak mengaturnya secara tegas dan eksplisit, khususnya menyangkut besarannya, sehingga kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar, dapat terulang kembali pada masa akan datang.

Maka, menetapkan arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional (semacam GBHN sektor pertambangan) dan menuangkannya ke dalam suatu dokumen kebijakan pertambangan nasional yang bersifat resmi dan mengikat dalam pelaksanaannya, kiranya menjadi pekerjaan rumah yang utama bagi pemerintahan mendatang di sektor pertambangan.

Dalam konteks ini, perubahan paradigma dari 'pertambangan untuk devisa' menjadi 'pertambangan untuk kesejahteraan rakyat' kiranya sudah menjadi suatu keharusan untuk benar-benar diwujudkan sehingga tak hanya menjadi jargon kosong dari masa ke masa. Semoga.

Oleh Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII DPR

No comments: