Thursday, July 19, 2012

EKPLORASI TAMBANG KENAPA DITOLAK ?



EKPLORASI TAMBANG KENAPA DITOLAK?
Oleh: Sutoto Abadi

Akhir-akhir ini di mas media elektronik dan cetak banyak diberitakan konflik di Bima yang telah memakan korban jiwa para demonstran dan dibakarnya  kantor Bupati Bima. 
Konflik itu konon dipicu oleh diterbitkannya izin usaha pertambangan eksplorasi oleh Bupati Bima. Disamping korban jiwa dan harta benda seperti tersebut diatas, konflik tersebut juga telah memakan korban korp kepolisian yang  dianggap telah melanggar hak asasi manusia.

Terkait dengan konflik lahan tambang dan kebun di Bima dan Lampung, banyak juga LSM yang mengusulkan agar izin tambang dan kebuh dimoratorium.Memperhatikan kejadian tersebut saya sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia pertambangan menjadi bingung dan bertanya-tanya kenapa ini bisa terjadi?

Konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat yang saya tahu memang sering terjadi, tetapi hal ini biasanya timbul pada saat izin perusahaan telah mencapai tahap operasi produksi. 
Konflik tersebut timbul akibat masalah ganti rugi lahan, pencemaran lingkungan dan atau masalah2 yang terkait dengan ketenaga kerjaan. Konflik ini jarang  terjadi pada saat tahapan usaha pertambangan baru eksplorasi.Izin usaha tambang yang diberikan oleh Bupati Bima yang saya baca dan dengar di mas media cetak dan elektronik adalah izin eksplorasi yaitu izin yang diberikan kepada perusahaan untuk mencari kemungkinan adanya sumberdaya mineral atau batubara disuatu wilayah tertentu.  Kegiatannya berupa pemetaan geologi, topografi, singkapan dan pemboran yang relative  tidak akan merusak lahan sehingga dalam tanahapan ini kecil sekali kemungkinannya  terjadi ganti rugi lahan.

Izin usaha pertambangan eksplorasi yang meningkat ke tahapan operasi produksi berdasarkan pengalaman sangatlah kecil, karena untuk meningkat ke tahapan operasi produksi masih harus melalui berbagai tahapan kajian, perizinan dan ganti rugi/pinjam pakai lahan.Disamping harus melalui tahapan kajian dan perizinan seperti tersebut diatas, hambatan yang sangat umum terjadi adalah ternyata setelah dilakukan eksplorasi yang detail diwilayah IUP eksplorasinya tidak ditemukan mineral atau batu bara seperti yang diharapkan..

Prosedur yang harus dilalui perusahaan tambang bila benar-benar menemukan sumberdaya mineral atau batubara ditempat-tempat  tertentu diwilayah IUP eksplorasiantara lain perusahaan diwajibkan membuat/menyusun kajian teknis, lingkungan dan ekonomis yang hasilnya harus dipresentasikan kepada si pemberi izin. Apabila dari ketiga aspek tersebut dinilai layak maka izin perusahaan tersebut baru ditingkatkan ke Izin Usaha Tambang Operasi Produksi.Bisa saja terjadi mineral atau batubara benar-benar ditemukan tetapi karena permintaan ganti rugi lahan diatasnya terlalu tinggi sehingga secara  ekonomis tidak layak untuk ditambang maka Izin Usaha Pertambangan eksplorasi tidak akan meningkat ke tahap operasi produksi.

Apabila perusahaan tambang telah memperoleh izin operasi produksi apakah sudah bisa menambang? belum juga, karena perusahaan tambang masih memiliki kewajiban untuk melakukan pembebasan atau pinjam pakai lahan, khususnya terhadap lahan  yang benar-benar akan terganggu aktivitas penambangan. Ketentuan ini tertuang baik dalam undang-undang pertambangan yang lama maupun yang baru. Didalam undang-undang no. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara tertuang dalam Bab XVIII pasal 134 s/d 138.Pembebasan atau pinjam pakai lahan juga dimungkinkan dilakukan secara bertahap sesuai dengan rencana kerja tahunan perusahaan tambang tersebut. Pada saat inilah biasanya konflik lahan tersebut terjadi.

Di wilayah Kalimantan Tengah konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah yang terkait dengan diterbitkannya izin usaha pertambangan eksplorasi beberapa waktu yang lalu juga pernah hampir terjadi, tetapi dengan mekanisme dan prosedur perizinan yang benar serta penjelasan dari pihak perusahaan serta penyuluhan dari pihak pemerintah hal tersebut bisa diredam, karena masyarakat menjadi tahu bahwa diterbitkannya izin eksplorasi tidak serta merta akan mengambil hak tanah milik mereka. 


Dengan komunikasi dan penjelasan yang baik di wilayah tertentu di Kalimantan Tengah bahkan  banyak terjadi masyarakat meminta perusahaan tambang melakukan pengeboran  di lahan milik mereka dengan harapan apabila dilahan mereka ada potensi tambang, maka akan ada proses ganti rugi lahan.Berdasarkan uraian tersebut saya menduga bahwa hal tersebut kemungkinan besar terjadi karena :

1.      Para pejabat-pejabat yang diangkat Bupati untuk menangani masalah tambang serta perusahaan yang memperoleh izin usaha sama-sama belum tahu tambang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tambang.

2.      Setelah memiliki izin usaha pertambangan, perusahaan menjadi arogan dan merasa bahwa dia bisa melakukan apa saja di wilayah izinnya padahal ketentuan pasal 134 UU No. 4 Tahun 2009 sudah jelas menyatakan bahwa hak atas wilayah usaha pertambangan (IUP) tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Disamping itu juga ada ketentuan pasal 134 undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwapemegang IUP eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah.


3.      Ada orang/provokator/saingan bisnis pemilik izin yang menginginkan wilayah tersebut dan atau ada yang tahu bahwa pemberian izin eksplorasi tersebut terkait KKN.


4.      Legitimasi pengangkatan Bupati yang kurang kuat.


Dari ke empat sumber penyebab konflik tersebut diatas saya lebih cenderung mengatakan penyebab pertamalah yang menjadi “basic causisnya”, hal ini terlihat dari tidak beraninya Bupati Bima mencabut SK IUP eksplorasi yang diterbitkan olehnya dan meminta pusat saja yang mencabut. Pada akhirnya SK tersebut memang dicabut tetapi harus menunggu rekomendasi kementerian ESDM yang sebenarnya tidak diperlukan.

Terkait dengan poin 1 dan 2 tersebut  diatas, dan adanya indikasi kuat bahwa aparat yang menbidangi pertambangan tidak mampu membina perusahaan tambang yang menjadi tugasnya, saya mengusulkan kepada para Bupati/Walikota dimanapun itu berada, agar dalam mengangkat pejabat yang membidangi pertambangan sebaiknya juga memperhatikan aspek ini, dengan kata lain harus sesuai dengan kompetensinya, tidak hanya berdasarkan kedekatannya saja atau balas budi pada saat pilkada.


Sumber tulisan : Kalteng Mining

Wednesday, March 7, 2012

Divest 51% shares to the Participant Indonesia.

Its shocking for Investor in Indonesia mining the government issuing new regulation.

To provide greater opportunity for participants Indonesia in business activities and mineral mining coal, the government through Government Regulation No. 24 of 2012 requires foreign investment company (PMA) holders of Mining Permit (IUP) and the Special Mining Permit (IUPK) to divest its shares gradually at least 51% of the participants Indonesia. Divestment should be done after 5 (five) years until the tenth year since the PMA IUP and IUPK production.

In terms signed by President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dated February 21 was mentioned, Indonesia is a participant that is the government, provincial governments, or local government district / city, state, enterprises, or private entities nationwide.

"The offering of shares as referred to made no later than within 90 (ninety) calendar days after 5 (five) years of permit issuance stage of production mining operations," reads Article 97 Paragraph 6 of Government Regulation No. 24 of 2012

Provisions of the divestiture of mineral and coal mines PMA is different from the previous provisions contained in the PP. No. 23 of 2010, which only require PMA Mineral and Coal Mine divest 20% of the entire share.

In the PP No. 24 of 2012 which is a change in the PP. No. 23 of 2010 was not mentioned directly mines the type of business that are required to divest its shares to Indonesian participants. But the reference to Regulation No. 23 of 2010 Article 2 Paragraph 2 stated, that the mineral and coal mining are grouped into 5 (five) classes of mining commodities, which is:

1. Radioactive minerals include radium, thorium, uranium, monazite, and other radioactive minerals;

2. Metallic minerals include gold, copper, silver, lead, zinc, tin, nickel, platinum, potassium, calcium, bauxite, titanium, iron, mercury, etc.;

3. Non-metallic minerals include diamonds, quartz sand, iodine, phosphorus, sulfur, asbestos, limestone for cement, gypsum, quartz stone, etc.;

4. Among the marble rocks, soil absorption, andesite, pumice, sirtu, urug sand, quartz crystal, jade, sea sand, red soil, big mountains rock, onik, etc.;

5. Coal includes solid bitumen, rock asphalt, coal, and peat.

PP No. 24 of 2012 also includes the divestment stage for IUP and IUPK PMA holder, which is:

1. Sixth year of 20% (twenty percent);

2. Seventh year of 30% (thirty percent);

3. 37% eight years (thirty-seven percent);

4. Ninth year of 44% (forty-four percent);

5. Tenth year of 51% (fifty one percent) of total shares.

PP is also explained, the transfer of shares PMA mineral and coal mining done in sequence to the central government first. If the government is not willing to buy the stock in question, then offered to the provincial government or local government district / municipality. If the provincial or district / city governments are not willing, then offered to state and local enterprise by way of auction.

"If the state-owned enterprises and state enterprises are not willing to buy shares, offered to private companies nationwide by way of auction," reads Article 97 Paragraph 5 of PP No. 24 of 2012.

BUMN to BUMN

Government Regulation No. 24 of 2012 also regulates the transfer of production IUPK IUP and owned by the state. 7B is mentioned in the article, that some Regional Mining Permit (WIUP) and the Regional Mining Permit Khusus (WIUPK) can be transferred to other parties that 51% (fifty one percent) or more owned by the state and IUPK IUP.

"The transfer of part or WIUPK WIU Production Operations conducted with the approval of the minister," the third paragraph of Article 7B PP. Number 24's.

Section 7A PP. No. 24 of 2012 is also confirmed, that the IUP and should not be IUPK ordered the IUP and its IUPK to other parties, the business entity is 51% (fifty one percent) or more holders of shares not owned by or IUPK IUP.